![]() |
Foto :Istimewa |
Rumah Sakit Militer Cimahi didirikan pada 1887. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), rumah sakit ini dipergunakan sebagai tempat perawatan tawanan tentara Belanda dan perawatan tentara Jepang.
Pada 1945-1947, rumah sakit ini dikuasai NICA. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah kerajaan Belanda (1949), Militaire Hospital diserahkan Belanda kepada TNI yang diwakili Letkol dr Rd K Singawinata. Sejak saat itu, namanya diubah menjadi RS Territorium III dan Singawinata diangkat sebagai kepala rumah sakit.
Pada Mei 1956, dalam rangka HUT Territorium III/Siliwangi ke-10, RS itu diberi nama RS Dustira oleh Panglima Territorium III, Kolonel A Kawilarang, sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor dr Dustira Prawiraamidjaya.
Dustira dilahirkan di Tasikmalaya pada 25 Juli 1919 sebagai anak Rd S Prawiraamidjaya. Pendidikan yang ditempuhnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung, kemudian dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS), lima tahun di Bandung. Selanjutnya ia menempuh pendididikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta (Geneeskundige Hogeschool, di zaman Jepang disebut Ika Daigaku).
Pada 1945, semua mahasiswa tingkat akhir Ika Daigaku, termasuk Dustira, menyatakan ingin turut berjuang di front Surabaya yang sedang bergolak. Namun keinginan itu ditolak dan mereka diperintahkan menunggu perkembangan selanjutnya. Para mahasiswa tingkat akhir itu lulus dan diberikan ijazah dokter, lalu dilatih kemiliteran di Tasikmalaya sekitar dua minggu.
Selesai pendidikan kemiliteran, dr Dustira ditugaskan ke Resimen 9 Divisi Siliwangi yang menguasai front Padalarang, Cililin, dan Batujajar. Waktu itu, semua serba kekurangan, baik personel maupun obat-obatan. Dustira berusaha siang malam menolong korban peperangan di front.
Melihatnya banyaknya korban yang jatuh, baik sipil maupun pejuang, Dustira merasa sedih, karena tidak bisa memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api di Padalarang dengan korban ratusan penumpang, Dustira berusaha menolong, namun obat-obatan terbatas. Melihat begitu banyak korban, tanpa dapat
memberikan pertolongan yang memuaskan hatinya sebab kekurangan obat, mengakibatkan tekanan mental yang luar biasa bagi dr Dustira.
Akhirnya karena kelelahan fisik dan mental, dr Dutira jatuh sakit. Ia dirawat di
RS Immanuel di Situ Saeur Bandung. Namun jiwanya tidak tertolong lagi dan pada 17 Maret 1946, ia di meninggal dan dikebumikan di Pemakaman Umum Astanaanyar. Pada 8 Maret 1973, kerangkanya dipindahkan ke TMP Cikutra Bandung.
Sumber : fb/Burdani As-Syafii